Ragam Etnisitas Dalam Ragam Budaya Di Kalimantan Barat

A.    PENDAHULUAN
a.      Latar Belakang Masalah
Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia budaya adalah suatu kebiasaan yang dilaksanakan dan dijaga keutuhannya dalam suatu kelompok atau masyarakat tertentu. Budaya merupakan hal yang wajib kita jaga dan lestarikan, pendidikan budaya sudah kita pelajari dari sekolah dasar, maka kita mungkin telah akrab dengan kata budaya itu sendiri.
Kita selaku warga Negara Indonesia yang memiliki 746 suku bangsa harus bangga dan menjaga serta mempertahankan budaya-budaya yang ada di Indonesia, terutama budaya-budaya yang berada di Kalimantan Barat sendiri. Kalimantan Barat memiliki beberapa suku yang tersebar dibeberapa wilayah, seperti Dayak, Melayu, Cina, Jawa, Madura, Bugis dan beberpa suku lainnya.
Suatu suku atau etnik pasti memiliki kebudayaan yang berbeda, kita selaku masyarakat yang berada di tengah-tengah ragam suku yang ada di Kalimantan Barat, maka kita harus bisa mengetahui buaya-budaya yang yang ada di lingkungan kita.
Dalam agama islam pun kita diajarkan untuk saling mengenal antara satu dengan yang lain, sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-Hujaraat (49) ayat 13.

يَآَيُّهَا النَّاسُ إِنَّاخَلَقْنَكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوْآ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عند الله أَتْقَكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِرٌ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat Surat Al-Hujaraat ini menerangkan tentang akhlak yang baik yang berhubungan dengan sikap orang mu’min terhadap Allah, Nabi Muhammad SAW, sikap mereka terhadap saudara-saudara mereka seagama, sopan santun dalam pergaulan dan pergaulan antar bangsa.
b.      Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami beberapa adat istiadat dalam ragam etnik dan suku di Kalimantan Barat. Namun penulis hanya membatasinya hanya masyarakat Madura Desa Pasak, Sungai Ambawang, Kubu Raya dan masyarakat Melayu Desa Sungai Udang, Sungai Kakap, Kubu Raya.
c.       Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami beberapa adat dan istiadat dalam masyarakat Madura Desa Pasak, Sungai Ambawang dan masyarakat Melayu Desa Sungai Udang, Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat.
B.     BUDAYA MADURA DAN MELAYU KUBU RAYA PADA BULAN MUHARRAM
a.      Tradisi Tajhin Pheddis Masyarakat Madura Sungai Ambawang Kubu Raya
Masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi dengan bubur, beberapa suku di Indonesia memiliki nama dan ragam tersendiri dalam menamakan bubur. Salah satunya adalah masyarakat Madura, masakan ini terbuat dari beras yang dimasak kurang lebih sama dengan memasak nasi pada biasanya, namun yang berbeda adalah kalua bubur lemis lunak daripada nasi pada umumnya.
Begitu pula dengan Tajhin Pheddis atau dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan bubur pedas pada masyarakat Madura, adalah bubur yang terbuat dari beras yang dimasak dengan beberapa campuran sayur-sayuran seperti wortel, singkong, ketela, keladi dan kacang-kacangan. Mereka menamakan bubur ini dengan thajin pheddis karena sesuai dengan penyajian dari bubur ini sendiri, yakni disajikan dengan menambahkan saos atau cabai dan beberapa macam kerupuk atau telur goreng suir diatasnya.
Menurut penuturan salah satu warga Desa Pasak Ibu Khomsiyah (41) mengatakan bahwa penamaan tajhin pheddis ini didasarkan dengan cara penyajian dari bubur ini sendiri. “kenapa dinamakan thajjin pheddis, karena bubur ini disajikan dengan saos atau cabai diatasnya sehingga rasanya pedas dan dinamakanlah thajjin pheddis, selain itu juga ditaburi kacang tanah goreng serta kerupuk atau pun telur goreng suir.
Masyarakat Madura meyakini bahwa memasak tajhin pheddis ini merupakan perwujudan syukur mereka terhadap limpahan rizki yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa Allah SWT. Karena dengan memasak bubur ini sayur-sayuran dan kacang-kacangan yang mereka tanam juga dimasak didalamnya, dan diberikan kepada tetangga mereka. Merupakan perwujudan syukur yang memang seharusnya seorang muslim laksanakan, di setiap harta yang kita miliki 25% adalah milik orang lain. Termasuk tanaman yang kita miliki juga termasuk dari harta yang wajib kita keluarkan zakatnya.
Zakat itu ada dua yakni zakat mal (harta) dan zakat fithrah, adapun harta yang wajib dikeluarkan zakatnya antara lain; emas, perak, harta perniagaan, binatang ternak, buah-buahan dan biji-bijian yang dapat dijadikan makanan pokok, barang tambang dan barang temuan.[1] Selain itu zakat merupakan salah satu rukun iman yang harus di imani oleh orang-orang muslim.
Allah SWT. berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 267.
يَآايُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْآأَنْفِقُوْامِنْ طَيِّبَاتِ مَاكَسَبْتُمْ وَمِمَّآأَخْرَجْنَالَكُمْ مِّنَ الْأَرْضِ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu”.
Dari ayat diatas dapat diketahu bahwa segala sesuatu yang diberikan oleh Allah dari bumi maka wajib atas mereka yang menerimanya agar mengeluarkan nafakah atau zakatnya.
Tradisi ini dilaksanakan selama bulan Muharram, bulan pertama dalam penaggalan Hijriah. Masyarakat Madura khususnya yang berada di Desa Pasak melaksanakan tradisi ini mulai dari tanggal satu sampai tiga puluh Muharram. Mereka mengerjakannya dengan cara bergantian dari tetangga satu dan tetangga lainnya, dan mengantar bubur yang mereka masak kepada tetangga sekitar. Dalam satu keluarga biasanya mereka memasak berbarengan di satu rumah, seperti yang dilakukan oleh Ibu Munayyeh (49) dan ketiga anaknya Nur Aini (30) Maryati (28) dan Mayasaroh (24) yang telah berumah tangga dan pisah rumah.
Awal tradisi ini diyakini oleh masyarakat Madura dimulai dari cerita Nabi Nuh as. ketika beliau diperintahkan oleh Allah SWT. untuk membuat sebuah kapal di atas sebuah bukit dan mengajak para pengikuttnya yang mengimani beliau sebagai seorang Nabi, meninggalkan mereka yang ingkar dan tidak meyakininya.  Pada saat dalam perjalanan perbekalan Nabi Nuh dan para pengikutnya semakin menipis, kemudian Nabi Nuh mengumpulkan para pengikutnya dan menanyakan bekal apa saja yang mereka punya. Setelah Nabi Nuh meminta mereka mengumpulkan sisa bekal mereka maka Nabi Nuh memerintahkan pengikutnya untuk memasak semua sisa bekal mereka.
Peristiwa tersebut diyakini oleh masyarakat Madura sebagai awal mula tajhin pheddis dilaksanakan, karena cara memasaknya yang sama dengan memadukan beberapa sayur-sayuran dan kacang-kacangan jadi satu. Masyarakat Madura masih mempertahankan budaya tersebut sampai sekarang, baik masyarakat Madura yang berada di Jawa Timur maupun orang-orang Madura yang ada di perantauan seperti masyarakat Madura yang berada di Desa Pasak, Kecematan Sungai Ambawang Kabupaten Kubu Raya.
Masyarakat Desa Pasak melaksanakan budaya ini sejak dahulu kala tidak tahu siapa yang memulai budaya ini. Ibu Khomsiyah mengatakan sejak dia tinggal di Desa tersebut budaya ini memang sudah ada, mungkin di bawa oleh para orang-orang Madura yang merantau ke Kalimantan terdahulu. “saya juga tidak tahu sejak kapan budaya ini dilaksanakan di Desa ini, mungkin sejak orang tua kami yang pertama kali menempati Desa ini dari Jawa Timur sana.” Masyarakat Madura memang mempertahankan budaya ini sejak dahulu, dan masih dipertahankan sampai sekarang.
b.      Budaya Asyura Masyarakat Melayu-Bugis Sungai Kakap Kubu Raya
Hari Asyura (عاشوراء) adalah hari ke-10 pada bulan Muharram dalam kalender Hijriah. Sedangkan asyura sendiri dalam Bahasa Arab berarti kesepuluh. Pada hari tersebut terjadi sejarah pentig dalam Islam, dimana cucu Nabi Muhammad Syaidina Husen syahid terbunuh di padang Karbala tahun 61 H (680). Masyarakat melayu Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya berpuasa sunnah pada hari tersebut, mereka meyakini kalau berpuasa pada hari tersebut bisa menghapuskan dosa.
Akan tetapi kalangan Sunni meyakini bahwa Nabi Musa berpuasa pada hari tersebut untuk mengekspresikan kegembiraan kepada Tuhan karena Bani Israil sudah terbebas dari Fira'un (Exodus). Menurut tradisi Sunni, Nabi Muhammad berpuasa pada hari tersebut dengan jumlah dua hari dengan tujuan menyelisihi umat Yahudi dan Nasrani, dan meminta orang-orang pula untuk berpuasa. Mereka juga meyakini kalua Hari Asyura merupakan peringatan hal-hal besar di bawah ini, dimana Muslim Sunni percaya terjadi beberapa pristiwa pentin pada tanggal 10 Muharram, diantaranya adalah:
·         Hari diciptakannya Nabi Adam dan hari tobatnya pula,
·         Berlabuhnya bahtera Nabi Nuh di bukit Jud,
·         Nabi Idris diangkat ke surga,
·         Nabi Ibrahim selamat dari apinya Namrudz,
·         Kesembuhan Nabi Yakub dari kebutaan dan ia dibawa bertemu dengan Nabi Yusuf,
·         Nabi Musa selamat dari pasukan Fir'aun saat menyeberangi Laut Merah,
·         Nabi Sulaiman diberikan kerajaan besar dan menguasai bumi,
·         Nabi Yunus dikeluarkan dari perut paus, dan
·         Nabi Isa diangkat ke surga setelah usaha tentara Roma untuk menangkap dan menyalibnya gagal.
Masyarakat Melayu-Bugis Sungai kakap Kubu Raya berpuasa pada hari tersebut, bukan hanya tanggal 10 Muharram saja tetapi dua hari sebelumnya yakni tangal Delapan dan Sembilan mereka berpuasa sunnah. Seperti yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW laksanakan semenjak beliau hijrah ke Madinah. Selain itu masyarakat Melayu-Bugis Sungai Kakap membuat bubur asyura yang disajikan sebagai makanan wajib ketika berbuka puasa.
Bubur asyura adalah bubur yang dimasak dengan 17 macam buah-buahan, sayur-sayuran dan kacang-kacangan yang disaukan ketika memasaknya.
Lalu bagaimana hukum berpuasa sunnah di hari tersebut, atau kaum syi’ah dalam merayakan hari tersebut. Para ulama berbeda pendapat, apakah puasa beliau ketika itu merupakan kewajiban?  Ada dua pendapat yang masyhur. Pendapat yang kuat adalah bahwa puasa asyura saat itu (sebelum diwajibkan puasa Ramadan) hukumnya wajib. Kemudian setelah itu, bagi yang ingin berpuasa, dia berpuasa sebagai sunnah saja, tidak diwajibkan oleh Nabi Muhammad SAW. untuk berpuasa kepada kalangan umum.
Bahkan beliau bersabda: “Ini adalah hari Asyura, saya dalam kondisi berpuasa pada hari intu, barangsiapa berpuasa dipersilahkan. Dan beliau juga mengatakan, Puasa Asyura dapat menghapus (dosa kecil) setahun. Dan puasa hari Arofah dapat menghapus (dosa) dua tahun.”
Dan ketika di akhir kehidupan beliau dan mendengar bahwa orang Yahudi menjadikan (hari Asyura) sebagai hari raya. Maka bersabda; “Kalau sekiranya saya masih hidup pada tahun depan, saya akan berpuasa pada hari kesembilan. Agar berbeda dengan orang Yahudi. Dan tidak menyerupai dengan menjadikannya sebagai hari raya.”
Diantara pada shahabat dan para ulama’ ada yang tidak berpuasa, dan tidak menganjurkan berpuasa bahkan ada yang memakruhkan menyendirikan puasa (hari asyura) sebagaimana hal itu dinukilkan dari golongan orang Kufah. Diantara ulama ada yang menganjurkan puasa (Asyura). Yang benar bahwa dianjurkan bagi yang berpuasa, hendaknya berpuasa dengan hari kesembilan. Karena hal ini ada perintah terakhir Nabi Muhammad SAW. dalam sabdanya, “Kalau sekiranya saya masih hidup pada tahun depan, maka saya akan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh.” Sebagaimana penjelasan dari jalur hadits lain.
Dan ini adalah seperti yang disunnahkan oleh Rasulullah SAW. Sementara perkara yang lainnya, seperti membuat makanan yang diluar dari kebiasannya, baik serbuk maupun bukan serbuk. Memperbaharui pakaian, melapangkan nafkah, membeli keperluan setahun pada hari itu, atau melakukan ibadah khusus, seperti shalat khusus, bermaksud menyembelih, menyimpan daging sembelihan untuk dimasak dengan serbuk, atau memakai celak dan pacar, mandi atau bersalam-salaman, saling mengunjungi atau mengunjungi masjid dan tempat tertentu atau semacam itu. Maka ini termasuk bid’ah munkar yang tidak disunnahkan oleh Nabi Muhammad SAW., para khulafaurrosyidin, tidak pula dianjurkan oleh salah seorang Imam-imam besar umat Islam.[2]
Agama Islam dibangun atas dua pondasi dasar, tidak menyembah melainkan kepada Allah, dan tidak menyembah kecuali dengan yang disyareatkan. Kita tidak menyembah dengan (melakukan) bid’ah. Allah ta’ala berfirman, “Maka barangsiapa yang ingin bertemu dengan Tuhannya, maka hendaklah dia melakukan amalan sholeh dan tidak menyekutukan sedikitpun dalam beribadah kepada tuhannya. Maka amalan sholeh adalah apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Yaitu yang disyareatkan dan disunnahkan.”
Oleh karena itu Umar bin Khottob radhiallahu’anhu mengatakan dalam doanya:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ عَمَلِي كُلَّهُ صَالِحًا وَاجْعَلْهُ لِوَجْهِك خَالِصًا , وَلا تَجْعَلْ لأَحَدٍ فِيهِ شَيْئًا
“Ya Allah, Jadikanlah semua amalanku menjadi sholeh, dan jadikanlah hanya (menggapai) keikhlasan untuk-Mu. Dan janganlah Engkau jadikan sesuatu apapun yang yang lainnya.”
Berbeda dengan kebiasaan yang dilaksanak oleh para kaum syi’ah yang sangat bertentangan dengan syariat Islam. Mereka melukai badan mereka karena mereka berangapan kalua mereka melaksanakan hal tersebut, maka Syaidina Husen Bin Ali Bin Abi Thalib akan merasa damai di alam sana.
Dalam hadits shahih, dari Nabi Muhammad SAW bersabda;
ليس منا من لطم الخدود وشق الجيوب ودعا بدعوى الجاهلية
"Bukan termasuk golongan kami, orang yang menampar pipinya, merobek bajunya dan menyeru dengan seruan jahiliah (apabila mengalami kesedihan)."
Beliau juga bersabda,
"Aku berlepas diri dari orang yang berteriak-teriak, menggundul kepalanya dan merobek-robek bajunya."
Beliau juga bersabda,
"Wanita yang meratap, jika tidak bertaubat sebelum meninggal, akan dibangkitkan pada hari kiamat akan dikenakan pakaian dari leburan ter dan baju besi dari leburan perak."[3]
Dari beberapa hadis di atas pastinya kita tahu bagaimana hukum kaum syiah yang merayakan hari tersebut dengan merobek pakaian mereka, dan ada yang dengan sengaja melukai tubuh mereka, serta berteriak-teriak seperti orang-orang yang kesurupan.
C.    BUDAYA MADURA DAN MELAYU KUBU RAYA PADA BULAN SAFAR
a.      Tradisi Tajhin Mera Pote Masyarakat Madura Sungai Ambawang Kubu Raya
Tajhin Mera Pote atau bubur merah putih berbeda dari bubur biasanya yang terbuat dari beras, tajhin mera pote terbuat dari tepung beras dan tepung beras ketan. Tepung beras diperuntukan untuk bubur merah yang dimasak atau dicampur dengan air gula merah, sebagai pemanis dan pewarna alami. Sementara tepung beras ketan diperuntukan untu bubur putih yang dicamur dengan santan dan garam. Tajhin mera pote memang berbeda dengan bubur yang lain, bubur merah rasanya adalah manis dan bubur putuh rasanya aak asin. Dengan rasa tersebut maka rasa dari tajhin mera pote terasa nikmat.
Kurang lebih sama dengan tajhin pheddis, tajhin mera pote juga dilaksanakn selama sebulan penuh yakni dari tangal satu sampai tanggal tiga puluh Bulan Safar, Bulan ke dua dalam kalender hijriah. Selain sama dilaksanakan selama satu bulan penuh, tajhin mera pote juga dimasak dengan cara yang sama yakni secara bergantian antara tetangga satu dengan yang lain, dan di bagikan kepada para tetangga mereka.
Hanya ada satu yang berbeda diantara tajhin pheddis dan tajjhin mea pote adalah orang yang memasaknya, kalau tajjhin pheddis hanya dimasak oleh kaum perempuan sementara tajjhin mera pote kaum bapak-bapak juga turun tangan dalam memasak. Selain proses masaknya yang lebih rumit juga karena cara memasaknya diharuskan untuk mendidihkan air gula merahnya terlebih dahulu sebelum memasukkan tepung beras. Selama proses memasak adonan tidak boleh ditinggalkan karena bisa membuat bubur tersebut rusak, makanya kaum bapak-bapak yang lebih kuat memasak bubur merahnya smemtara kaum ibu-ibu memasak bubur putihnya.
Sejarah dari budaya tajjhin mera pote ini memiliki beberapa versi, Pertama, masyarakat Madura memasak bubur merah putih ini sebagai bentuk duka atas peristiwa di Padang Karbala yang mensyahidkan Syaidina Husen Bin Ali Bin Abi Thalib. Kedua, adalah perwujudan dari cinta tanah air. Karena pada masa penjajahan dulu masyarakat Madura umumnya masyarakat Indonesia dilarang untuk mengibarkan bendera merah putih, maka masyarakat Madura berinisiatif untuk membuat bubur merah putih sebagai perwujudan cinta masyarakat Madura terhadap tanah air.
Selain itu makna dari bubur merah putih adalah bentuk perwujudan dari syukur masyarakat Madura akan kehidupan dan rizki yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Merah menandakan tanah awal dari manusia bermula dan tempat manusia kembali, sementara putih adalah air yang menjadi sumber kehidupan utama. Karena sesuai dengan fitrahnya kehidupan di dunia ini membutuhkan air sebagai sumber kehidupan utama.
Allah SWT berfirman;
وَهُوَ الَّذِى يُرْسِلُ الرِّيَحَ بشرا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ حَتَّى إِذَآأَقَلَّتْ سَحَبًا ثِقَالاً سُقْنَهُ لِبَلَدٍ مَّيِتِّتٍ فَأَنْزَلْنَا بِهِ أَلْمَآءُفَأَخْرَجْنَا بِهِ مِنْ كُلِّ الثَّمَرَتِ كَذَ لِكَ نُخْرِجُ المَوْتَى لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“dan Dialah yang meniupkan angina sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan, eperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.” (Q.S Al A’raaf [] : 57)
Rezeki adalah salah satu rahmat Allah SWT. yang luar biasa. Dengannya sirkulasi air dari bumi ke langit lalu turun lagi ke bumi membuat bumi layak huni. Bumi yang tadinya gersang berubah menjadi subur dengan rahmat Allah SWT. Dia menumbuhkan berbagai macam jenis tanaman dan tumbuh-tumbuhan, menghidupi berbagai spesies hewan, dan mendatangkan banyak rizki bagi manusia.[4]
Selain berasal dari permukaan bumi, rizki juga Allah sediakan di gunung, di dalam perut bumi, di permukaan laut dan di dasar laut yang dalam. Di gunung dan perut bumi tersedia berbagai macam barang tambang, ada yang mengandung besi, ada mangan, ada logam, batu bara dan sebagainya. Di laut tersedia Mutiara, marjan dan berbagai jenis ikan yang sangat enak disantap.
Maka dari limpahan rahmat dan rizki yang telah diberikan oleh Allah kepada para manusia, maka sebagai umat yang berakal kita selaku makhluknya maka kita seharusnya dan sepatutnya untuk bersyukur akan hal tersebut. Dari sebab itulah masyarakat Madura meyakini dengan bubur merah putih yang menandakan tanah dan air merupakan perwujudan dari rasa syukur akan rahmat dan rizki Allah tersebut.
            b.      Tradisi Robo’-Robo’ Masyarakat Melayu-Bugis Sungai Kakap Kubu Raya
Robo-robo ini berasal dari nama hari yaitu rabu (Rabu berasal dari bahasa arab yaitu Ar-bia' /Raba'a) dan selenggarakan pada hari rabu minggu terakhir dalam bulan Safar, bulan ke dua dalam kalender hijriah.
Pada dasarnya Tradisi dan penyelanggaraan seperti Robo'-robo ini juga dilaksanakan hal serupa di banyak tempat di Indonesia. Namun dengan sebutan berbeda-beda contoh: Uroe Rabu Abeeh (Aceh), Rabu Capuk (Riau), Rabu Wekasan (Jawa), Sidekah Ketupat (Cilacap), Rebo Pungkasan (Jogyakarta), Ngirap (Cirebon), Safaran (beberapa daerah di Indonesia) dan lain-lain.
Sejarah ritual robo-robo' ini bermula dari cerita turun temurun dan sudah menjadi keyakinan terutama ummat islam, bahwa pada bulan safar dan hari rabu itulah, dimana para nabi mendapatkan musibah atau ujian dari Allah SWT. yang berkaitan dengan laut/air. Contohnya: Nabi yunus ditelan ikan, Nabi Musa membawa ummatnya menyebrang lautan, Banjir Bah Nabi Nuh.
Tentu tidak diketahui pasti siapa dan kapan, intinya semenjak cerita peristiwa yang menimpa beberapa nabi itu tersebar dan islam masuk ke nusantara pada abad 7-11 dan masuknya islam ke Kalimantan Barat serta setelah adanya penduduk yang bermukim di tanjung Kakap, robo-robo dilakukan, meskipun tidak sebesar penyelenggaranya dibanding kondisi saat ini.
Sebelum ritual robo'-robo' ini dilaksanakan di kuala kakap (pada tahun 1978), pada dahulunya Ritual Robo'-Robo' ini dilaksanakan masyarakat di laut tepatnya di Pulau Taik Minyak (pulau kecil yang berada antara Tanjung Taleh dan sungai Kakap) dengan menggunakan sampan sebagai alat transportasi jaman dahulu. Setelah selesai ritual robo'-robo' (selesai membaca do'a selamat) masyarakat yang hadir langsung menceburkan diri ke sungai untuk mandi-mandi.
Berkaitan dengan sejarah Desa Sungai Kakap kenapa adanya migrasi penduduk mulai menetap disungai kakap ini, mengingat dari asal muasal mereka dari berbagai macam suku, dari melayu, bugis dan etnis tiong hoa, beragam pula ritual keagamaan dan ada istiadat juga melekat pada diri mereka dan di bawa ketempat dimana mereka tinggal. Namun yang lebih banyak kita jumpai dan sering didengar dan selenggarakan adalah Ritual "Robo-robo".
Kenapa robo-robo ini lebih menonjol di Sungai Kakap, ini dikarenakan penyelenggaraannya diadakan secara besar-besaran, tidak semua tempat bahkan di Kalimantan Barat ini hanya dua tempat yang terkenal dari dahulu, yaitu Kuala Mempawah dan Kuala Kakap.
Sebelum masyarakat Sungai Kakap melaksanakan acara inti Robo’-Robo’ di kuala, pada malam harinya mereka melaksanakan shalat Lidifa’il Bala. Shalat sunnah lidaf’il bala’ (tolak bala’) merupakan shalat sunnah hajat yang dikerjakan pada malam atau hari rabu akhir bulan Safar, tepatnya pada hari rabu pada pekan keempat. Shalat sunnah ini dikerjakan empat rakaat dua salam dan dilaksanakan secara berjamaah.
Awal mula munculnya ibadah sholat ini adalah berdasarkan ilham dan ijtihad para ulama’ salaf maupun ulama’ sufiyah terdahulu yang teringat bahwa bulan safar adalah bulan yang penuh dengan kesialan dan malapetaka, dan hari rabu pekan keempat merupakan hari yang paling na’as pada bulan itu.
Di dalam kitab Al-Awrad Al-Khawarija karya Syekh Mu’inuddin menyebutkna sebagai berikut:
أَنَّهُ يَنْزِلُ فِيْ كُلِّ سَنَةٍ ثَلاَثُمِائَةِ اَلْفٍ وَعِشْرِيْنَ أَلَفًا مِنَ الْبَلِيَّاتِ وَكُلُّهَا فَيْ يَوْمِ الْأَرْبِعَاءِ الْأَخِرَةِ مِنْ شَهْرِ صَفَرِ فَيَكُوْنُ ذَلِكَ الْيَوْمُ أَصْعَبُ أَيِّمِ تِلْكَ السَّنَةِ، فَمَنْ صَلَّى فِيْ ذَلِكَ الْيَوْمِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ يَقْرُأُ فِيْ كُلِّ مِنْهَا بَعْدَ الْفَاتِحَةِ إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ سَبْعَةَ عَشَرَ وَالْإِخْلاَصَ خَمْسَ مَرَّاتٍ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ مَرَّاةً وِيَدْعُوْ بِهَذَا الدُّعَاءِ حَفَظَهُ االلهُ تَعَالَى بِكَرَمِهِ مِنْ جَمِيْعِ الْبَلاَيَا  الَّتِيْ تَنْزِلُ فِيْ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَلَمْ تُحْمَ حَوْلَهُ بَلِيَّةٌ مِنْ تِلْكَ الْبَلاَيَا إِلَى تَمَام السَّنَةِ

“Sesungguhnya dalam setiap tahun diturunkan sekitar 320.000 macam bala’ yang semuanya ditimpakan pada hari rabu akhir bulan Safar. Maka hari itu adalah hari tersulit dalam tahun itu. Barang siapa shalat empat rakaat pada hari itu, dengan membaca di masing-masing rakaatnya setelah Al-Fatihah yakni surat Al-Kautsar 17 kali, Al-Ikhlas 5 kali, mu’awwidzatain masing-masing satu kali dan berdoa –do’anya Insya Allah akan disebutkan setelah ini–, maka dengan sifat karomnya Allah, Allah akan menjaganya dari semua bala’ yang turun pada hari itu dan di sekelilingnya akan terhindar dari bala’ tersebut sampai genap setahun”.[5]
Adapun cara pelaksanaan shalat sunnah ini sama dengan shalat-shalat sunnah pada umumnya. Namun yang membedakannya adalah, setiap habis membaca surat Al-Fatihah pada masing-masing rakaatnya membaca: Surat Al-Kautsar 17 kali, Surat Al-Ikhlas 5 kali, Surat Al-Falaq dan surat An-Naas masing-masing satu kali.
Setelah pelaksanaan shalat berakhir, biasanya diadakan shodaqohan sekadarnya seperti halnya kenduri yang diawali dengan membaca doa tahlil, kemudian dilanjutkan dengan ceramah atau mauidhah hasanah secukupnya, yang selanjutnya acara tersebut diakhiri dengan makan bersama. Setelah itu, para jamaah dipersilakan mengambil air barokah yang sudah dipersiapkan oleh panitia sebelumnya. Para jamaah pun bisa langsung meminumnya di tempat, atau boleh juga dibawa pulang untuk diminum bersama keluarga di rumah.[6] Namun dalam perjalanan cara penyelenggaran tolak bala ini, mengalami proses asimilasi menyesuaikan dengan adat istiadat masyarakat setempat.
Menurut cerita beberapa tokoh agama Sungai Kakap dahulunya acara itu adalah acara tolak balak yang diadakan pada bulan safar. Sebutan acara tolak bala' itu berubah menjadi robo'-robo' ketika ada peristiwa jembatan roboh (ambruk) di dekat kuala mempawah. Peristiwa robohnya jembatan dikuala mempawah itu menjadi bagian dari kombinasi penyebutan Robo'-robo' hingga yang kita dengar saat ini. (dengan logat tekanan suara oleh orang melayu) seperti, tidur-tido', dapur-dapo', ditambah lagi pelaksanaan pada hari Rabu.
Inti dari diselenggarakannya ritual robo’-robo’ ini adalah masyarakat yang tinggal khususnya di kawasan pesisir pantai memanjatkan syukur atas hasil alam yang diperoleh serta meminta ampun dan pertolongan kepada Allah SWT. agar apa yang pernah dan telah menimpa nabi pada zaman dahulu tidak menimpa mereka yang berada dipinggir/dekat laut.
D.    TRADISI MAULID NABI MASYARAKAT MADURA DAN MELAYU-BUGIS KUBU RAYA
a.      Pengertian Maulid Nabi
Maulid Nabi Muhammad SAW. biasa orang Madura sebut Maulid Nabi, Maulud atau Moloden saja (bahasa Arab: مولد النبي, mawlid an-nabī), adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW. yang di Indonesia perayaannya jatuh pada setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Namun berbeda dengan orang-orang Madura, masyarakat Madura melaksanakannya selama sebulan penuh, yakni dari tanggal satu sampai tanggal tiga puluh Rabi’ul Awal.
Kata maulid atau milad dalam bahasa Arab berarti hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad.
Maulid Nabi adalah perayaan yang dilaksanakan untuk menghormati dan menggambarkan kegembiraan atas dan kepada Nabi Muhammad, insan paling sempurna dan utusan Allah yang terbaik serta Nabi yang menjadi uswah bagi seluruh umat-Nya dan menjadi penutup para Nabi.
b.      Sejarah Maulid Nabi
Peringatan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh Raja Irbil (wilayah Irak sekarang), bernama Muzhaffaruddin Al-Kaukabri, pada awal abad ke 7 Hijriyah. Ibn Katsir dalam kitab Tarikh berkata:
Awal sejarah dari peringatan Maulid Nabi adalah pada masa Sultan Muzhaffar, Sultan Muzhaffar mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabi'ul Awal. Dia merayakannya secara besar-besaran. Dia adalah seorang yang berani, pahlawan, alim dan seorang yang adil.
Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn Al-Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut, Sultan Al-Muzhaffar mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama dalam bidang ilmu Fiqh, ulama Hadits, ulama dalam bidang ilmu kalam, ulama usul, para ahli tasawuf, dan lainnya. Sejak tiga hari, sebelum hari pelaksanaan Maulid Nabi, dia telah melakukan berbagai persiapan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para hadirin yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut. Segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh Sultan Al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua berpandangan dan menganggap baik perayaan Maulid Nabi yang digelar untuk pertama kalinya itu.
Ibn Khallikan dalam kitab Wafayat Al-A`yan menceritakan bahwa Al-Imam Al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam dan seterusnya ke Irak. Ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 Hijriah, dia mendapati Sultan Al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh karena itu, Al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “Al-Tanwir Fi Maulid Al-Basyir An-Nadzir”. Karya ini kemudian dia hadiahkan kepada Sultan Al-Muzhaffar.
Para ahli sejarah, seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn Al-Jauzi, Ibn Kathir, Al-Hafizh Al-Sakhawi, Al-Hafizh Al-Suyuthi dan lainnya telah sepakat menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Sultan Al-Muzhaffar. Namun juga terdapat pihak lain yang mengatakan bahwa Sultan Salahuddin Al-Ayyubi adalah orang yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi. Sultan Salahuddin pada kala itu membuat perayaan Maulid dengan tujuan membangkitkan semangat umat islam yang telah padam untuk kembali berjihad dalam membela islam pada masa Perang Salib.
Sumber lain mengatakan perayaan Maulid yang sebenarnya diprakarsai oleh Dinasti Fatimiyyun sebagaimana dinyatakan oleh banyak ahli sejarah. Berikut perkataan ahli sejarah mengenai Maulid Nabi.
Al Maqriziy, seorang pakar sejarah mengatakan, “Para khalifah Fatimiyyun memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Ada perayaan tahun baru, hari ‘Asyura, maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah az-Zahra, maulid khalifah yang sedang berkuasa, perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Sya’ban, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Ramadhan, perayaan malam penutup Ramadhan, perayaan ‘Idul Fithri, perayaan ‘Idul Adha, perayaan ‘Idul Ghadir, perayaan musim dingin dan musim panas, perayaan malam Al Kholij, hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), hari Al Khomisul ‘Adas (3 hari sebelum paskah), dan hari Rukubaat.”
Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain –radhiyallahu ‘anhum- dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun 362 H.
Begitu pula Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh dalam kitabnya Al Ibda’ fi Madhoril Ibtida’ (hal. 251) dan Al Ustaz ‘Ali Fikriy dalam Al Muhadhorot Al Fikriyah (hal. 84) juga mengatakan bahwa yang mengadakan perayaan Maulid pertama kali adalah ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun).[7]
c.       Maulid Nabi Masyarakat Madura Sungai Ambawang Kubu Raya
Masyarakat Madura memiliki perayaan tersendiri dalam merayakan Maulid Nabi, masyarakat Madura merayakannya selama sebulan penuh yakni dari tanggal satu sampai tiga pulu selama bulan Rabi’ul Awal.
Masyarakat Madura merayakan Maulid Nabi dengan mengundang para tetangga untuk mengahdiri perayaaan yang dilaksanakan oleh ahl bait. Tuan rumah menyediakan beberapa makanan khas dalam pelaksanaan Maulid Nabi ini, seperti cucur, dodol, bajit, ketan, bolu dan beberapa jenis kue lainnya. Selain makanan mereka juga menyuguhkan buah-buahan, seperti nanas, apel, pear, semangka, sawo, salak, dan beberapa jenis buah-buahan lainnya.
Makanan dan buah-buahan tersebut di suguhkan dalam sebuah wadah, dipisahkan antara makanan dan makanan, buah-buahan dalam wadah tersendiri. Selain itu ada satu makanan khas yang tidak boleh lepas dalam setiap perayaan kebesaran masyarakat Madura, baik dalam perayaan pesta pernikahan, sampai khaul yakni tumpeng yang berisi pulut yang dikelilingi dengan beragam macam kue-kue tersebut.
Dalam perayaan tersebut masyarakat Madura biasanya membaca tahlil, doa dan shalawat barzanji. Ketika pembacaan dimulai makanan yang telah disiapkan oleh tuan rumah akan dikeluarkan dan di simpan didepan para tamu undangan, ntuk dibacakan doa untuk meminta keselamatan bagi keluarga dan penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW.
Setelah pembacaan doa dan shalawat barzanji selesai para tamu undangan khususnya anak-anak akan berebutan mengambil makanan yang ada di hadapan mereka. Saat-saat seperti inilah yang menjadi pemandangan khusus dalam setiap perayaan Maulid Nabi yang dilaksanakan masyarakat Madura. Anak-anak yang berebutan mengambil makanan dan buah-buahan yang berada dihadapan mereka.
Selain merayakan Maulid Nabi di rumahnya masing-masing masyarakat Madura pada tanggal 12 Rabi’ul Awal akan Bersama-sama mrayakan Maulid Nabi di masjid-masjid kampung mereka. Sama halnya di Kampung Parit Pak Long, masyarakat disana pada tanggal 12 Rabi’ul Awal akan berbondong-bondong untuk pergi ke masjid merayakan Maulid Nabi Bersama-sama.
Perayaan yang dilaksanakan di Masjid berbeda dengan perayaan-perayaan yang dilaksanakan dirumah-rumah warga. Perayaan Dimasjid dilaksanakan dengan diawali pembacaan Shalawat kepada Nabi Muhammad, yang dilanjutkan dengan ceramah agama yang diisi oleh para Kyai atau Pengasuh Pondok Pesantren yang ada di sekitar kampung, dan ditutup dengan pembacaac Shalawat Mahallul Qiyam (Diba’) serta doa yang dipimpin oleh Ustad atau masyarakat yang dianggap sesepuh kampung.
Sama dengan perayaan Maulid Nabi di rumah-rumah para warga, perayaan Maulid Nabi di masjid juga menyajikan beberapa makanan dan buah-buahan yang dibawa oleh para kaum ibu-ibu dari rumah mereka masing-masing. Pada akhir perayaan para masyrakat menyantap makanan yag telah disediakan dan membawa pulang buah-buahan untuk diberikan kepada sanak keluarganya masing-masing.
d.      Maulid Nabi Masyarakat Melayu-Bugis Sungai Kakap Kubu Raya
Sama halnya dengan masyarakat Madura masyarakat Melayu-Bugis yang berada di Desa Sungai Udang, Sungai Kakap Kubu Raya. Meryakan Maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awal, namun yang berbeda adalah masyarakat Melayu-Bugis Sungai Udang hanya merayakan Maulid Nabi hanya pada akhir bulan saja.
Mereka akan memilih satu tempat baik itu di Masjid ataupun di Pesantren-Pesantren sekitar, mereka akan menyiapkan makanan dan buah-buahan dari rumah mereka masing-masing untuk dimakan Bersama-sama pada akhir acara. Yang berbeda pula dalam perayaan Maulid Nabi Madura dan Melayu-Bugis adalah ketika menikmati makanan nya. Masyarakat Melayu-Bugis akan menyantap makanan tersebut secara saprahan dan beramai-ramai, berbeda denga masyarakat Madura yang memang disediakan piring khusus untuk satu orang satu piring untuk makan hidangan ang elah disediakan.
Namun sebelum menikmati hidangan masyarakat melayu juga membaca shalawat berzanji dan mendengarkan ceramah terlebih dahulu. Baru setelah selesai mendengarkan ceramah dan pembacaan shalawat berzanji maka mereka akan Bersama-sama menyantap makanan yang telah disajikan. Kaum ibi-ibu dan bapak-bapak akan membentuk barisannya masing-masing.
       e.       Pandangan Syariat Akan Perayaan Maulid Nabi
Maulid dirayakan di banyak negara dengan penduduk mayoritas Muslim di dunia, serta di negara-negara lain di mana masyarakat Muslim banyak membentuk komunitas, contohnya antara lain di India, Britania Raya, Rusia dan Kanada.
Arab Saudi dan Qatar adalah negara dengan penduduk mayoritas Muslim yang tidak menjadikan Maulid sebagai hari libur resmi. Partisipasi dalam ritual perayaan hari besar Islam ini umumnya dipandang sebagai ekspresi dari rasa keimanan dan kebangkitan keberagamaan bagi para penganutnya.
Lalu bagaimana agama menanggapi perayaan tersebut. Allah SWT. berfirman:
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi k dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya” (al-Ahzâb [33] : 56)
Dari ayat diatas sudah jelas bahwa orang-orang yang beriman dianjurkan untuk bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW. sebagaimana para Malaikat bershalawat kepada beliau. Selama apa yang orang-orang muslim kerjakan dalam menyerukan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. tidak menyimpang dari agama maka pekerjaan tersebut boleh dilaksanakan.
Ada sebagian ulama yang mengatakan itu bid’ah, perlu diketahui bid’ah itu ada dua. Ada bid’ah syaii’ah dan bid’ah dhalalah. Bid’ah syaii’ah dadalah segala sesuatu yang tidak ada pada masa Rasululah namun tidak bertentangan denga syariat islam. Sementara bid’ah dhalalah adalah segala sesuatu yang tidak ada pada Rasulullah namun juga tidak sesuai dengan syariat islam.

E.     KESIMPULAN
Indonesia adalah negara kepulaua yang terdiri dari beraga macam suku dan budaya, serta dengan agama beragam pula. Suatu suku pasti memiliki budayanya masing-masing, termasuk masyarakat Madura yang merupakan masyarakat transmigrasi dari pulau Jawa, serta masyarakat Melayu yang merupakan penduduk asli di Kalimantan Barat.
Selaku umat Bergama kita tentunya memiliki peraturan masing-masing mengenai batas-batas mengenai budaya yang kita laksanakan. Apalagi Agama Islam yang merupakan agama terbaik disisi Allah memiliki beberapa pedoman bagi umatnya dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari, termasuk pedoman dalam mengerjakan suatu budaya.
Al-Quran dan Sunnah merupakan pedoman utama umat Islam dalam melaksanaka suatau ibadah tataupun aktivitas sehari-hari. Didalam Al-Quran dipaparkan tentang beberapa cara kita melaksanakan ibadah, baik itu ibadaj wajib sunnah serta melakukan interaksi antara umat beragama dan antar tetangga.



F.     DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran Dan Terjemahannya. Terbitan Departemen Agama Republik Indonesia. 19978.
Harjani, Hefni. Dr. H. 2013. The Seven Islamic Daily Habits: Hidup Islamai & Modern Berbasis Al-Fatihah. Jakarta: Pustaka IKADI.
Jurnal. Tradisi Perekan Masyarakat Dabong. Didi Darmadi
Jurnal Al-Manhaj. Pandangan Islam Mengenai Hari Asyura. (27 Maret 2012).
Majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta.
Musnaad Al-Imam Ahmad ibn Hambal. (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.) Juz III hal. 12.
Rifa’I, Moh. Drs. H. 1987. Fiqih Islam Lengkap. Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Sayadi, Wajidi. 2014. Perspektif Hadis Tentang Komunikasi Dakwah (Suatu Kajian Tematik). Pontianak. TOP Indonesia.



[1] Drs. H. M. Rifa’i. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. (Semarang: PT. Karya Toha Putra. 1978.) hal. 346
[4] Dr. H. Harjani Hefni, Lc. MA. The Seven Islamic Daily Habits; Hidup Islami & Modern Berbasis Al-Fatihah. (Jakarta: Pustaka IKADI. 2013.) hal. 58.
[5] Syekh Mu’inuddin. Al-Awrad Al-Khawarija. (Beirut: Dar al-Fikr.  t.th.) hal.
Share on Google Plus

About Abdul Khofid Nauwir

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar