a.
Latar Belakang Masalah
Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
budaya adalah suatu kebiasaan yang dilaksanakan dan dijaga keutuhannya dalam
suatu kelompok atau masyarakat tertentu. Budaya merupakan hal yang wajib kita
jaga dan lestarikan, pendidikan budaya sudah kita pelajari dari sekolah dasar,
maka kita mungkin telah akrab dengan kata budaya itu sendiri.
Kita selaku warga Negara Indonesia yang
memiliki 746 suku bangsa harus bangga dan menjaga serta mempertahankan
budaya-budaya yang ada di Indonesia, terutama budaya-budaya yang berada di
Kalimantan Barat sendiri. Kalimantan Barat memiliki beberapa suku yang tersebar
dibeberapa wilayah, seperti Dayak, Melayu, Cina, Jawa, Madura, Bugis dan
beberpa suku lainnya.
Suatu suku atau etnik pasti memiliki
kebudayaan yang berbeda, kita selaku masyarakat yang berada di tengah-tengah
ragam suku yang ada di Kalimantan Barat, maka kita harus bisa mengetahui
buaya-budaya yang yang ada di lingkungan kita.
Dalam agama islam pun kita diajarkan untuk
saling mengenal antara satu dengan yang lain, sesuai dengan firman Allah dalam
surah Al-Hujaraat (49) ayat 13.
يَآَيُّهَا النَّاسُ إِنَّاخَلَقْنَكُمْ مِنْ
ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوْآ إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عند الله أَتْقَكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang
paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.”
Ayat Surat Al-Hujaraat ini menerangkan
tentang akhlak yang baik yang berhubungan dengan sikap orang mu’min terhadap
Allah, Nabi Muhammad SAW, sikap mereka terhadap saudara-saudara mereka seagama,
sopan santun dalam pergaulan dan pergaulan antar bangsa.
b.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penulisan
makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami beberapa adat istiadat dalam
ragam etnik dan suku di Kalimantan Barat. Namun penulis hanya membatasinya hanya
masyarakat Madura Desa Pasak, Sungai Ambawang, Kubu Raya dan masyarakat Melayu
Desa Sungai Udang, Sungai Kakap, Kubu Raya.
c.
Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas,
tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami beberapa
adat dan istiadat dalam masyarakat Madura Desa Pasak, Sungai Ambawang dan
masyarakat Melayu Desa Sungai Udang, Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat.
B.
BUDAYA MADURA DAN MELAYU KUBU RAYA PADA BULAN MUHARRAM
a.
Tradisi Tajhin
Pheddis Masyarakat Madura
Sungai Ambawang Kubu Raya
Masyarakat Indonesia sudah tidak
asing lagi dengan bubur, beberapa suku di Indonesia memiliki nama dan ragam
tersendiri dalam menamakan bubur. Salah satunya adalah masyarakat Madura, masakan
ini terbuat dari beras yang dimasak kurang lebih sama dengan memasak nasi pada
biasanya, namun yang berbeda adalah kalua bubur lemis lunak daripada nasi pada
umumnya.
Begitu pula dengan Tajhin Pheddis atau dalam Bahasa
Indonesia dikenal dengan bubur pedas pada masyarakat Madura, adalah bubur yang
terbuat dari beras yang dimasak dengan beberapa campuran sayur-sayuran seperti
wortel, singkong, ketela, keladi dan kacang-kacangan. Mereka menamakan bubur
ini dengan thajin pheddis karena
sesuai dengan penyajian dari bubur ini sendiri, yakni disajikan dengan
menambahkan saos atau cabai dan beberapa macam kerupuk atau telur goreng suir diatasnya.
Menurut
penuturan salah satu warga Desa Pasak Ibu Khomsiyah (41) mengatakan bahwa
penamaan tajhin pheddis ini
didasarkan dengan cara penyajian dari bubur ini sendiri. “kenapa dinamakan thajjin pheddis, karena bubur ini
disajikan dengan saos atau cabai diatasnya sehingga rasanya pedas dan
dinamakanlah thajjin pheddis, selain itu
juga ditaburi kacang tanah goreng serta kerupuk atau pun telur goreng suir.”
Masyarakat Madura meyakini bahwa
memasak tajhin pheddis ini merupakan
perwujudan syukur mereka terhadap limpahan rizki yang diberikan oleh Tuhan Yang
Maha Esa Allah SWT. Karena dengan memasak bubur ini sayur-sayuran dan
kacang-kacangan yang mereka tanam juga dimasak didalamnya, dan diberikan kepada
tetangga mereka. Merupakan perwujudan syukur yang memang seharusnya seorang
muslim laksanakan, di setiap harta yang kita miliki 25% adalah milik orang
lain. Termasuk tanaman yang kita miliki juga termasuk dari harta yang wajib
kita keluarkan zakatnya.
Zakat
itu ada dua yakni zakat mal (harta) dan zakat fithrah, adapun harta yang wajib
dikeluarkan zakatnya antara lain; emas, perak, harta perniagaan, binatang
ternak, buah-buahan dan biji-bijian yang dapat dijadikan makanan pokok, barang
tambang dan barang temuan.[1]
Selain itu zakat merupakan salah satu rukun iman yang harus di imani oleh
orang-orang muslim.
Allah SWT. berfirman dalam surah
Al-Baqarah ayat 267.
يَآايُّهَاالَّذِيْنَ
أَمَنُوْآأَنْفِقُوْامِنْ طَيِّبَاتِ مَاكَسَبْتُمْ وَمِمَّآأَخْرَجْنَالَكُمْ
مِّنَ الْأَرْضِ
“Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu”.
Dari ayat diatas dapat diketahu
bahwa segala sesuatu yang diberikan oleh Allah dari bumi maka wajib atas mereka
yang menerimanya agar mengeluarkan nafakah atau zakatnya.
Tradisi
ini dilaksanakan selama bulan Muharram, bulan pertama dalam penaggalan Hijriah.
Masyarakat Madura khususnya yang berada di Desa Pasak melaksanakan tradisi ini
mulai dari tanggal satu sampai tiga puluh Muharram. Mereka mengerjakannya
dengan cara bergantian dari tetangga satu dan tetangga lainnya, dan mengantar
bubur yang mereka masak kepada tetangga sekitar. Dalam satu keluarga biasanya
mereka memasak berbarengan di satu rumah, seperti yang dilakukan oleh Ibu
Munayyeh (49) dan ketiga anaknya Nur Aini (30) Maryati (28) dan Mayasaroh (24) yang
telah berumah tangga dan pisah rumah.
Awal tradisi ini diyakini oleh
masyarakat Madura dimulai dari cerita Nabi Nuh as. ketika beliau diperintahkan
oleh Allah SWT. untuk membuat sebuah kapal di atas sebuah bukit dan mengajak
para pengikuttnya yang mengimani beliau sebagai seorang Nabi, meninggalkan
mereka yang ingkar dan tidak meyakininya.
Pada saat dalam perjalanan perbekalan Nabi Nuh dan para pengikutnya
semakin menipis, kemudian Nabi Nuh mengumpulkan para pengikutnya dan menanyakan
bekal apa saja yang mereka punya. Setelah Nabi Nuh meminta mereka mengumpulkan
sisa bekal mereka maka Nabi Nuh memerintahkan pengikutnya untuk memasak semua
sisa bekal mereka.
Peristiwa tersebut diyakini oleh
masyarakat Madura sebagai awal mula tajhin pheddis dilaksanakan, karena
cara memasaknya yang sama dengan memadukan beberapa sayur-sayuran dan
kacang-kacangan jadi satu. Masyarakat Madura masih mempertahankan budaya
tersebut sampai sekarang, baik masyarakat Madura yang berada di Jawa Timur
maupun orang-orang Madura yang ada di perantauan seperti masyarakat Madura yang
berada di Desa Pasak, Kecematan Sungai Ambawang Kabupaten Kubu Raya.
Masyarakat Desa Pasak melaksanakan
budaya ini sejak dahulu kala tidak tahu siapa yang memulai budaya ini. Ibu
Khomsiyah mengatakan sejak dia tinggal di Desa tersebut budaya ini memang sudah
ada, mungkin di bawa oleh para orang-orang Madura yang merantau ke Kalimantan terdahulu.
“saya juga tidak tahu sejak kapan budaya ini dilaksanakan di Desa ini, mungkin
sejak orang tua kami yang pertama kali menempati Desa ini dari Jawa Timur
sana.” Masyarakat Madura memang mempertahankan budaya ini sejak dahulu, dan
masih dipertahankan sampai sekarang.
b. Budaya Asyura Masyarakat Melayu-Bugis
Sungai Kakap Kubu Raya
Hari Asyura (عاشوراء) adalah
hari ke-10 pada bulan Muharram dalam kalender Hijriah. Sedangkan asyura sendiri
dalam Bahasa Arab berarti kesepuluh. Pada hari tersebut terjadi sejarah pentig
dalam Islam, dimana cucu Nabi Muhammad Syaidina Husen syahid terbunuh di padang
Karbala tahun 61 H (680). Masyarakat melayu Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya
berpuasa sunnah pada hari tersebut, mereka meyakini kalau berpuasa pada hari
tersebut bisa menghapuskan dosa.
Akan tetapi
kalangan Sunni meyakini bahwa Nabi Musa berpuasa pada hari tersebut untuk
mengekspresikan kegembiraan kepada Tuhan karena Bani Israil sudah terbebas dari
Fira'un (Exodus). Menurut tradisi Sunni, Nabi Muhammad berpuasa pada hari
tersebut dengan jumlah dua hari dengan tujuan menyelisihi umat Yahudi dan
Nasrani, dan meminta orang-orang pula untuk berpuasa. Mereka juga meyakini
kalua Hari Asyura merupakan peringatan hal-hal besar di bawah ini, dimana
Muslim Sunni percaya terjadi beberapa pristiwa pentin pada tanggal 10 Muharram,
diantaranya adalah:
·
Hari diciptakannya Nabi Adam dan
hari tobatnya pula,
·
Berlabuhnya bahtera Nabi Nuh di
bukit Jud,
·
Nabi Idris diangkat ke surga,
·
Nabi Ibrahim selamat dari apinya
Namrudz,
·
Kesembuhan Nabi Yakub dari kebutaan
dan ia dibawa bertemu dengan Nabi Yusuf,
·
Nabi Musa selamat dari pasukan
Fir'aun saat menyeberangi Laut Merah,
·
Nabi Sulaiman diberikan kerajaan
besar dan menguasai bumi,
·
Nabi Yunus dikeluarkan dari perut
paus, dan
·
Nabi Isa diangkat ke surga setelah
usaha tentara Roma untuk menangkap dan menyalibnya gagal.
Masyarakat
Melayu-Bugis Sungai kakap Kubu Raya berpuasa pada hari tersebut, bukan hanya
tanggal 10 Muharram saja tetapi dua hari sebelumnya yakni tangal Delapan dan
Sembilan mereka berpuasa sunnah. Seperti yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad
SAW laksanakan semenjak beliau hijrah ke Madinah. Selain itu masyarakat
Melayu-Bugis Sungai Kakap membuat bubur asyura yang disajikan sebagai makanan
wajib ketika berbuka puasa.
Bubur
asyura adalah bubur yang dimasak dengan 17 macam buah-buahan, sayur-sayuran dan
kacang-kacangan yang disaukan ketika memasaknya.
Lalu bagaimana
hukum berpuasa sunnah di hari tersebut, atau kaum syi’ah dalam merayakan hari
tersebut. Para ulama berbeda pendapat, apakah puasa beliau ketika itu merupakan
kewajiban? Ada dua pendapat yang
masyhur. Pendapat yang kuat adalah bahwa puasa asyura saat itu (sebelum
diwajibkan puasa Ramadan) hukumnya wajib. Kemudian setelah itu, bagi yang ingin
berpuasa, dia berpuasa sebagai sunnah saja, tidak diwajibkan oleh Nabi Muhammad
SAW. untuk berpuasa kepada kalangan umum.
Bahkan beliau
bersabda: “Ini adalah hari Asyura, saya dalam kondisi berpuasa pada hari intu,
barangsiapa berpuasa dipersilahkan. Dan beliau juga mengatakan, Puasa Asyura
dapat menghapus (dosa kecil) setahun. Dan puasa hari Arofah dapat menghapus
(dosa) dua tahun.”
Dan ketika di
akhir kehidupan beliau dan mendengar bahwa orang Yahudi menjadikan (hari
Asyura) sebagai hari raya. Maka bersabda; “Kalau sekiranya saya masih hidup
pada tahun depan, saya akan berpuasa pada hari kesembilan. Agar berbeda dengan
orang Yahudi. Dan tidak menyerupai dengan menjadikannya sebagai hari raya.”
Diantara pada
shahabat dan para ulama’ ada yang tidak berpuasa, dan tidak menganjurkan
berpuasa bahkan ada yang memakruhkan menyendirikan puasa (hari asyura)
sebagaimana hal itu dinukilkan dari golongan orang Kufah. Diantara ulama ada
yang menganjurkan puasa (Asyura). Yang benar bahwa dianjurkan bagi yang
berpuasa, hendaknya berpuasa dengan hari kesembilan. Karena hal ini ada
perintah terakhir Nabi Muhammad SAW. dalam sabdanya, “Kalau sekiranya saya
masih hidup pada tahun depan, maka saya akan berpuasa pada hari kesembilan dan
kesepuluh.” Sebagaimana penjelasan dari jalur hadits lain.
Dan ini adalah
seperti yang disunnahkan oleh Rasulullah SAW. Sementara perkara yang lainnya,
seperti membuat makanan yang diluar dari kebiasannya, baik serbuk maupun bukan
serbuk. Memperbaharui pakaian, melapangkan nafkah, membeli keperluan setahun
pada hari itu, atau melakukan ibadah khusus, seperti shalat khusus, bermaksud
menyembelih, menyimpan daging sembelihan untuk dimasak dengan serbuk, atau
memakai celak dan pacar, mandi atau bersalam-salaman, saling mengunjungi atau
mengunjungi masjid dan tempat tertentu atau semacam itu. Maka ini termasuk
bid’ah munkar yang tidak disunnahkan oleh Nabi Muhammad SAW., para
khulafaurrosyidin, tidak pula dianjurkan oleh salah seorang Imam-imam besar umat
Islam.[2]
Agama Islam
dibangun atas dua pondasi dasar, tidak menyembah melainkan kepada Allah, dan
tidak menyembah kecuali dengan yang disyareatkan. Kita tidak menyembah dengan
(melakukan) bid’ah. Allah ta’ala berfirman, “Maka barangsiapa yang ingin
bertemu dengan Tuhannya, maka hendaklah dia melakukan amalan sholeh dan tidak
menyekutukan sedikitpun dalam beribadah kepada tuhannya. Maka amalan sholeh
adalah apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Yaitu yang disyareatkan dan
disunnahkan.”
Oleh karena itu
Umar bin Khottob radhiallahu’anhu mengatakan dalam doanya:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ عَمَلِي كُلَّهُ صَالِحًا
وَاجْعَلْهُ لِوَجْهِك خَالِصًا , وَلا تَجْعَلْ لأَحَدٍ فِيهِ شَيْئًا
“Ya Allah, Jadikanlah semua amalanku
menjadi sholeh, dan jadikanlah hanya (menggapai) keikhlasan untuk-Mu. Dan
janganlah Engkau jadikan sesuatu apapun yang yang lainnya.”
Berbeda dengan
kebiasaan yang dilaksanak oleh para kaum syi’ah yang sangat bertentangan dengan
syariat Islam. Mereka melukai badan mereka karena mereka berangapan kalua
mereka melaksanakan hal tersebut, maka Syaidina Husen Bin Ali Bin Abi Thalib
akan merasa damai di alam sana.
Dalam
hadits shahih, dari Nabi Muhammad SAW bersabda;
ليس منا من لطم الخدود وشق الجيوب ودعا بدعوى
الجاهلية
"Bukan
termasuk golongan kami, orang yang menampar pipinya, merobek bajunya dan
menyeru dengan seruan jahiliah (apabila mengalami kesedihan)."
Beliau juga
bersabda,
"Aku
berlepas diri dari orang yang berteriak-teriak, menggundul kepalanya dan
merobek-robek bajunya."
Beliau juga
bersabda,
"Wanita
yang meratap, jika tidak bertaubat sebelum meninggal, akan dibangkitkan pada
hari kiamat akan dikenakan pakaian dari leburan ter dan baju besi dari leburan
perak."[3]
Dari
beberapa hadis di atas pastinya kita tahu bagaimana hukum kaum syiah yang
merayakan hari tersebut dengan merobek pakaian mereka, dan ada yang dengan
sengaja melukai tubuh mereka, serta berteriak-teriak seperti orang-orang yang
kesurupan.
C.
BUDAYA MADURA DAN MELAYU KUBU RAYA PADA BULAN SAFAR
a.
Tradisi Tajhin Mera Pote Masyarakat Madura Sungai
Ambawang Kubu Raya
Tajhin
Mera Pote atau bubur
merah putih berbeda dari bubur biasanya yang terbuat dari beras, tajhin mera
pote terbuat dari tepung beras dan tepung beras ketan. Tepung beras
diperuntukan untuk bubur merah yang dimasak atau dicampur dengan air gula
merah, sebagai pemanis dan pewarna alami. Sementara tepung beras ketan
diperuntukan untu bubur putih yang dicamur dengan santan dan garam. Tajhin
mera pote memang berbeda dengan bubur yang lain, bubur merah rasanya adalah
manis dan bubur putuh rasanya aak asin. Dengan rasa tersebut maka rasa dari
tajhin mera pote terasa nikmat.
Kurang
lebih sama dengan tajhin pheddis, tajhin mera pote juga dilaksanakn
selama sebulan penuh yakni dari tangal satu sampai tanggal tiga puluh Bulan
Safar, Bulan ke dua dalam kalender hijriah. Selain sama dilaksanakan selama
satu bulan penuh, tajhin mera pote juga dimasak dengan cara yang sama
yakni secara bergantian antara tetangga satu dengan yang lain, dan di bagikan
kepada para tetangga mereka.
Hanya ada
satu yang berbeda diantara tajhin pheddis dan tajjhin mea pote
adalah orang yang memasaknya, kalau tajjhin pheddis hanya dimasak oleh
kaum perempuan sementara tajjhin mera pote kaum bapak-bapak juga turun
tangan dalam memasak. Selain proses masaknya yang lebih rumit juga karena cara
memasaknya diharuskan untuk mendidihkan air gula merahnya terlebih dahulu
sebelum memasukkan tepung beras. Selama proses memasak adonan tidak boleh ditinggalkan
karena bisa membuat bubur tersebut rusak, makanya kaum bapak-bapak yang lebih
kuat memasak bubur merahnya smemtara kaum ibu-ibu memasak bubur putihnya.
Sejarah dari budaya tajjhin mera pote ini memiliki
beberapa versi, Pertama, masyarakat Madura memasak bubur merah putih ini
sebagai bentuk duka atas peristiwa di Padang Karbala yang mensyahidkan Syaidina
Husen Bin Ali Bin Abi Thalib. Kedua, adalah perwujudan dari cinta tanah
air. Karena pada masa penjajahan dulu masyarakat Madura umumnya masyarakat
Indonesia dilarang untuk mengibarkan bendera merah putih, maka masyarakat
Madura berinisiatif untuk membuat bubur merah putih sebagai perwujudan cinta
masyarakat Madura terhadap tanah air.
Selain itu makna dari bubur merah putih adalah
bentuk perwujudan dari syukur masyarakat Madura akan kehidupan dan rizki yang
telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Merah menandakan tanah awal dari
manusia bermula dan tempat manusia kembali, sementara putih adalah air yang
menjadi sumber kehidupan utama. Karena sesuai dengan fitrahnya kehidupan di
dunia ini membutuhkan air sebagai sumber kehidupan utama.
Allah SWT berfirman;
وَهُوَ
الَّذِى يُرْسِلُ الرِّيَحَ بشرا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ حَتَّى إِذَآأَقَلَّتْ
سَحَبًا ثِقَالاً سُقْنَهُ لِبَلَدٍ مَّيِتِّتٍ فَأَنْزَلْنَا بِهِ
أَلْمَآءُفَأَخْرَجْنَا بِهِ مِنْ كُلِّ الثَّمَرَتِ كَذَ لِكَ نُخْرِجُ المَوْتَى
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“dan Dialah yang meniupkan angina sebagai pembawa berita gembira sebelum
kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan
mendung, kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu kami turunkan hujan di
daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam
buah-buahan, eperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati,
mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.” (Q.S Al A’raaf [] : 57)
Rezeki adalah salah satu rahmat Allah SWT. yang luar
biasa. Dengannya sirkulasi air dari bumi ke langit lalu turun lagi ke bumi
membuat bumi layak huni. Bumi yang tadinya gersang berubah menjadi subur dengan
rahmat Allah SWT. Dia menumbuhkan berbagai macam jenis tanaman dan
tumbuh-tumbuhan, menghidupi berbagai spesies hewan, dan mendatangkan banyak
rizki bagi manusia.[4]
Selain berasal dari permukaan bumi, rizki juga Allah
sediakan di gunung, di dalam perut bumi, di permukaan laut dan di dasar laut
yang dalam. Di gunung dan perut bumi tersedia berbagai macam barang tambang,
ada yang mengandung besi, ada mangan, ada logam, batu bara dan sebagainya. Di
laut tersedia Mutiara, marjan dan berbagai jenis ikan yang sangat enak
disantap.
Maka dari limpahan rahmat dan rizki yang telah
diberikan oleh Allah kepada para manusia, maka sebagai umat yang berakal kita
selaku makhluknya maka kita seharusnya dan sepatutnya untuk bersyukur akan hal
tersebut. Dari sebab itulah masyarakat Madura meyakini dengan bubur merah putih
yang menandakan tanah dan air merupakan perwujudan dari rasa syukur akan rahmat
dan rizki Allah tersebut.
b.
Tradisi Robo’-Robo’ Masyarakat Melayu-Bugis Sungai
Kakap Kubu Raya
Robo-robo ini berasal dari nama hari yaitu rabu
(Rabu berasal dari bahasa arab yaitu Ar-bia' /Raba'a) dan selenggarakan pada
hari rabu minggu terakhir dalam bulan Safar, bulan ke dua dalam kalender hijriah.
Pada dasarnya Tradisi dan penyelanggaraan seperti Robo'-robo ini juga dilaksanakan hal serupa di banyak tempat di Indonesia. Namun dengan sebutan berbeda-beda contoh: Uroe Rabu Abeeh (Aceh), Rabu Capuk (Riau), Rabu Wekasan (Jawa), Sidekah Ketupat (Cilacap), Rebo Pungkasan (Jogyakarta), Ngirap (Cirebon), Safaran (beberapa daerah di Indonesia) dan lain-lain.
Pada dasarnya Tradisi dan penyelanggaraan seperti Robo'-robo ini juga dilaksanakan hal serupa di banyak tempat di Indonesia. Namun dengan sebutan berbeda-beda contoh: Uroe Rabu Abeeh (Aceh), Rabu Capuk (Riau), Rabu Wekasan (Jawa), Sidekah Ketupat (Cilacap), Rebo Pungkasan (Jogyakarta), Ngirap (Cirebon), Safaran (beberapa daerah di Indonesia) dan lain-lain.
Sejarah ritual robo-robo' ini bermula dari cerita
turun temurun dan sudah menjadi keyakinan terutama ummat islam, bahwa pada
bulan safar dan hari rabu itulah, dimana para nabi mendapatkan musibah atau
ujian dari Allah SWT. yang berkaitan dengan laut/air. Contohnya: Nabi yunus
ditelan ikan, Nabi Musa membawa ummatnya menyebrang lautan, Banjir Bah Nabi
Nuh.
Tentu tidak diketahui pasti siapa dan kapan, intinya
semenjak cerita peristiwa yang menimpa beberapa nabi itu tersebar dan islam
masuk ke nusantara pada abad 7-11 dan masuknya islam ke Kalimantan Barat serta
setelah adanya penduduk yang bermukim di tanjung Kakap, robo-robo dilakukan,
meskipun tidak sebesar penyelenggaranya dibanding kondisi saat ini.
Sebelum ritual robo'-robo' ini dilaksanakan di kuala
kakap (pada tahun 1978), pada dahulunya Ritual Robo'-Robo' ini dilaksanakan
masyarakat di laut tepatnya di Pulau Taik Minyak (pulau kecil yang berada
antara Tanjung Taleh dan sungai Kakap) dengan menggunakan sampan sebagai alat
transportasi jaman dahulu. Setelah selesai ritual robo'-robo' (selesai membaca
do'a selamat) masyarakat yang hadir langsung menceburkan diri ke sungai untuk
mandi-mandi.
Berkaitan dengan sejarah Desa Sungai Kakap kenapa
adanya migrasi penduduk mulai menetap disungai kakap ini, mengingat dari asal
muasal mereka dari berbagai macam suku, dari melayu, bugis dan etnis tiong hoa,
beragam pula ritual keagamaan dan ada istiadat juga melekat pada diri mereka
dan di bawa ketempat dimana mereka tinggal. Namun yang lebih banyak kita jumpai
dan sering didengar dan selenggarakan adalah Ritual "Robo-robo".
Kenapa robo-robo ini lebih menonjol di Sungai Kakap,
ini dikarenakan penyelenggaraannya diadakan secara besar-besaran, tidak semua
tempat bahkan di Kalimantan Barat ini hanya dua tempat yang terkenal dari
dahulu, yaitu Kuala Mempawah dan Kuala Kakap.
Sebelum masyarakat Sungai Kakap melaksanakan acara
inti Robo’-Robo’ di kuala, pada malam harinya mereka melaksanakan shalat
Lidifa’il Bala. Shalat sunnah lidaf’il bala’ (tolak bala’) merupakan shalat
sunnah hajat yang dikerjakan pada malam atau hari rabu akhir bulan Safar,
tepatnya pada hari rabu pada pekan keempat. Shalat sunnah ini dikerjakan empat
rakaat dua salam dan dilaksanakan secara berjamaah.
Awal mula munculnya ibadah sholat ini adalah
berdasarkan ilham dan ijtihad para ulama’ salaf maupun ulama’ sufiyah terdahulu
yang teringat bahwa bulan safar adalah bulan yang penuh dengan kesialan dan
malapetaka, dan hari rabu pekan keempat merupakan hari yang paling na’as pada
bulan itu.
Di dalam kitab Al-Awrad
Al-Khawarija karya Syekh Mu’inuddin menyebutkna
sebagai berikut:
أَنَّهُ يَنْزِلُ فِيْ
كُلِّ سَنَةٍ ثَلاَثُمِائَةِ اَلْفٍ وَعِشْرِيْنَ أَلَفًا مِنَ الْبَلِيَّاتِ
وَكُلُّهَا فَيْ يَوْمِ الْأَرْبِعَاءِ الْأَخِرَةِ مِنْ شَهْرِ صَفَرِ فَيَكُوْنُ
ذَلِكَ الْيَوْمُ أَصْعَبُ أَيِّمِ تِلْكَ السَّنَةِ، فَمَنْ صَلَّى فِيْ ذَلِكَ
الْيَوْمِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ يَقْرُأُ فِيْ كُلِّ مِنْهَا بَعْدَ الْفَاتِحَةِ
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ سَبْعَةَ عَشَرَ وَالْإِخْلاَصَ خَمْسَ مَرَّاتٍ
وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ مَرَّاةً وِيَدْعُوْ بِهَذَا الدُّعَاءِ حَفَظَهُ االلهُ
تَعَالَى بِكَرَمِهِ مِنْ جَمِيْعِ الْبَلاَيَا
الَّتِيْ تَنْزِلُ فِيْ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَلَمْ تُحْمَ حَوْلَهُ بَلِيَّةٌ
مِنْ تِلْكَ الْبَلاَيَا إِلَى تَمَام السَّنَةِ
“Sesungguhnya dalam setiap tahun diturunkan sekitar
320.000 macam bala’ yang semuanya ditimpakan pada hari rabu akhir bulan Safar.
Maka hari itu adalah hari tersulit dalam tahun itu. Barang siapa shalat empat
rakaat pada hari itu, dengan membaca di masing-masing rakaatnya setelah
Al-Fatihah yakni surat Al-Kautsar 17 kali, Al-Ikhlas 5 kali, mu’awwidzatain
masing-masing satu kali dan berdoa –do’anya Insya Allah akan disebutkan setelah
ini–, maka dengan sifat karomnya Allah, Allah akan menjaganya dari semua bala’
yang turun pada hari itu dan di sekelilingnya akan terhindar dari bala’
tersebut sampai genap setahun”.[5]
Adapun cara pelaksanaan shalat sunnah ini sama
dengan shalat-shalat sunnah pada umumnya. Namun yang membedakannya adalah,
setiap habis membaca surat Al-Fatihah pada masing-masing rakaatnya membaca:
Surat Al-Kautsar 17 kali, Surat Al-Ikhlas 5 kali, Surat Al-Falaq dan surat
An-Naas masing-masing satu kali.
Setelah pelaksanaan shalat berakhir, biasanya
diadakan shodaqohan sekadarnya seperti halnya kenduri yang diawali dengan
membaca doa tahlil, kemudian dilanjutkan dengan ceramah atau mauidhah hasanah
secukupnya, yang selanjutnya acara tersebut diakhiri dengan makan bersama.
Setelah itu, para jamaah dipersilakan mengambil air barokah yang sudah dipersiapkan
oleh panitia sebelumnya. Para jamaah pun bisa langsung meminumnya di tempat,
atau boleh juga dibawa pulang untuk diminum bersama keluarga di rumah.[6]
Namun dalam perjalanan cara penyelenggaran tolak bala ini, mengalami proses
asimilasi menyesuaikan dengan adat istiadat masyarakat setempat.
Menurut cerita beberapa tokoh agama Sungai Kakap
dahulunya acara itu adalah acara tolak balak yang diadakan pada bulan safar.
Sebutan acara tolak bala' itu berubah menjadi robo'-robo' ketika ada peristiwa
jembatan roboh (ambruk) di dekat kuala mempawah. Peristiwa robohnya jembatan
dikuala mempawah itu menjadi bagian dari kombinasi penyebutan Robo'-robo'
hingga yang kita dengar saat ini. (dengan logat tekanan suara oleh orang
melayu) seperti, tidur-tido', dapur-dapo', ditambah lagi pelaksanaan pada hari
Rabu.
Inti dari diselenggarakannya ritual robo’-robo’ ini
adalah masyarakat yang tinggal khususnya di kawasan pesisir pantai memanjatkan
syukur atas hasil alam yang diperoleh serta meminta ampun dan pertolongan
kepada Allah SWT. agar apa yang pernah dan telah menimpa nabi pada zaman dahulu
tidak menimpa mereka yang berada dipinggir/dekat laut.
D.
TRADISI MAULID NABI MASYARAKAT MADURA DAN MELAYU-BUGIS
KUBU RAYA
a.
Pengertian Maulid Nabi
Maulid Nabi Muhammad SAW. biasa orang Madura sebut
Maulid Nabi, Maulud atau Moloden saja (bahasa Arab: مولد النبي, mawlid an-nabī), adalah peringatan hari lahir Nabi
Muhammad SAW. yang di Indonesia perayaannya jatuh pada setiap tanggal 12 Rabiul
Awal dalam penanggalan Hijriyah. Namun berbeda dengan orang-orang Madura,
masyarakat Madura melaksanakannya selama sebulan penuh, yakni dari tanggal satu
sampai tanggal tiga puluh Rabi’ul Awal.
Kata maulid atau milad dalam bahasa Arab berarti
hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di
masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Secara subtansi,
peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi
Muhammad.
Maulid Nabi adalah perayaan yang dilaksanakan untuk
menghormati dan menggambarkan kegembiraan atas dan kepada Nabi Muhammad, insan
paling sempurna dan utusan Allah yang terbaik serta Nabi yang menjadi uswah
bagi seluruh umat-Nya dan menjadi penutup para Nabi.
b.
Sejarah Maulid Nabi
Peringatan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh
Raja Irbil (wilayah Irak sekarang), bernama Muzhaffaruddin Al-Kaukabri, pada
awal abad ke 7 Hijriyah. Ibn Katsir dalam kitab Tarikh berkata:
Awal sejarah dari peringatan Maulid Nabi adalah pada
masa Sultan Muzhaffar, Sultan Muzhaffar mengadakan peringatan Maulid Nabi pada
bulan Rabi'ul Awal. Dia merayakannya secara besar-besaran. Dia adalah seorang
yang berani, pahlawan, alim dan seorang yang adil.
Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn Al-Jauzi bahwa
dalam peringatan tersebut, Sultan Al-Muzhaffar mengundang seluruh rakyatnya dan
seluruh ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama dalam bidang ilmu Fiqh,
ulama Hadits, ulama dalam bidang ilmu kalam, ulama usul, para ahli tasawuf, dan
lainnya. Sejak tiga hari, sebelum hari pelaksanaan Maulid Nabi, dia telah
melakukan berbagai persiapan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan
para hadirin yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut. Segenap para
ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh Sultan
Al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua berpandangan dan menganggap baik perayaan
Maulid Nabi yang digelar untuk pertama kalinya itu.
Ibn Khallikan dalam kitab Wafayat Al-A`yan
menceritakan bahwa Al-Imam Al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam
dan seterusnya ke Irak. Ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 Hijriah,
dia mendapati Sultan Al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar
perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh karena itu, Al-Hafzih Ibn
Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “Al-Tanwir
Fi Maulid Al-Basyir An-Nadzir”. Karya ini kemudian dia hadiahkan kepada Sultan
Al-Muzhaffar.
Para ahli sejarah, seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn
Al-Jauzi, Ibn Kathir, Al-Hafizh Al-Sakhawi, Al-Hafizh Al-Suyuthi dan lainnya
telah sepakat menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan
maulid adalah Sultan Al-Muzhaffar. Namun juga terdapat pihak lain yang
mengatakan bahwa Sultan Salahuddin Al-Ayyubi adalah orang yang pertama kali
mengadakan Maulid Nabi. Sultan Salahuddin pada kala itu membuat perayaan Maulid
dengan tujuan membangkitkan semangat umat islam yang telah padam untuk kembali
berjihad dalam membela islam pada masa Perang Salib.
Sumber lain mengatakan perayaan Maulid yang
sebenarnya diprakarsai oleh Dinasti Fatimiyyun sebagaimana dinyatakan oleh
banyak ahli sejarah. Berikut perkataan ahli sejarah mengenai Maulid Nabi.
Al Maqriziy, seorang pakar sejarah mengatakan, “Para
khalifah Fatimiyyun memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Ada perayaan
tahun baru, hari ‘Asyura, maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Abi
Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah az-Zahra, maulid khalifah yang
sedang berkuasa, perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam pertengahan
bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Sya’ban, perayaan malam pertengahan
bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Ramadhan, perayaan malam penutup
Ramadhan, perayaan ‘Idul Fithri, perayaan ‘Idul Adha, perayaan ‘Idul Ghadir,
perayaan musim dingin dan musim panas, perayaan malam Al Kholij, hari Nauruz
(Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), hari Al Khomisul
‘Adas (3 hari sebelum paskah), dan hari Rukubaat.”
Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir
dalam kitabnya mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan
maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain
–radhiyallahu ‘anhum- dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al
Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun
362 H.
Begitu pula Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh dalam kitabnya
Al Ibda’ fi Madhoril Ibtida’ (hal. 251) dan Al Ustaz ‘Ali Fikriy dalam Al
Muhadhorot Al Fikriyah (hal. 84) juga mengatakan bahwa yang mengadakan perayaan
Maulid pertama kali adalah ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun).[7]
c.
Maulid Nabi Masyarakat Madura Sungai Ambawang Kubu
Raya
Masyarakat Madura memiliki perayaan tersendiri dalam
merayakan Maulid Nabi, masyarakat Madura merayakannya selama sebulan penuh
yakni dari tanggal satu sampai tiga pulu selama bulan Rabi’ul Awal.
Masyarakat Madura merayakan Maulid Nabi dengan
mengundang para tetangga untuk mengahdiri perayaaan yang dilaksanakan oleh ahl
bait. Tuan rumah menyediakan beberapa makanan khas dalam pelaksanaan Maulid
Nabi ini, seperti cucur, dodol, bajit, ketan, bolu dan beberapa jenis kue
lainnya. Selain makanan mereka juga menyuguhkan buah-buahan, seperti nanas,
apel, pear, semangka, sawo, salak, dan beberapa jenis buah-buahan lainnya.
Makanan dan buah-buahan tersebut di suguhkan dalam
sebuah wadah, dipisahkan antara makanan dan makanan, buah-buahan dalam wadah
tersendiri. Selain itu ada satu makanan khas yang tidak boleh lepas dalam
setiap perayaan kebesaran masyarakat Madura, baik dalam perayaan pesta
pernikahan, sampai khaul yakni tumpeng yang berisi pulut yang dikelilingi
dengan beragam macam kue-kue tersebut.
Dalam perayaan tersebut masyarakat Madura biasanya
membaca tahlil, doa dan shalawat barzanji. Ketika pembacaan dimulai makanan
yang telah disiapkan oleh tuan rumah akan dikeluarkan dan di simpan didepan
para tamu undangan, ntuk dibacakan doa untuk meminta keselamatan bagi keluarga
dan penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW.
Setelah pembacaan doa dan shalawat barzanji selesai
para tamu undangan khususnya anak-anak akan berebutan mengambil makanan yang
ada di hadapan mereka. Saat-saat seperti inilah yang menjadi pemandangan khusus
dalam setiap perayaan Maulid Nabi yang dilaksanakan masyarakat Madura.
Anak-anak yang berebutan mengambil makanan dan buah-buahan yang berada
dihadapan mereka.
Selain merayakan Maulid Nabi di rumahnya
masing-masing masyarakat Madura pada tanggal 12 Rabi’ul Awal akan Bersama-sama
mrayakan Maulid Nabi di masjid-masjid kampung mereka. Sama halnya di Kampung Parit
Pak Long, masyarakat disana pada tanggal 12 Rabi’ul Awal akan
berbondong-bondong untuk pergi ke masjid merayakan Maulid Nabi Bersama-sama.
Perayaan yang dilaksanakan di Masjid berbeda dengan
perayaan-perayaan yang dilaksanakan dirumah-rumah warga. Perayaan Dimasjid
dilaksanakan dengan diawali pembacaan Shalawat kepada Nabi Muhammad, yang
dilanjutkan dengan ceramah agama yang diisi oleh para Kyai atau Pengasuh Pondok
Pesantren yang ada di sekitar kampung, dan ditutup dengan pembacaac Shalawat
Mahallul Qiyam (Diba’) serta doa yang dipimpin oleh Ustad atau masyarakat yang
dianggap sesepuh kampung.
Sama dengan perayaan Maulid Nabi di rumah-rumah para
warga, perayaan Maulid Nabi di masjid juga menyajikan beberapa makanan dan
buah-buahan yang dibawa oleh para kaum ibu-ibu dari rumah mereka masing-masing.
Pada akhir perayaan para masyrakat menyantap makanan yag telah disediakan dan
membawa pulang buah-buahan untuk diberikan kepada sanak keluarganya
masing-masing.
d.
Maulid Nabi Masyarakat Melayu-Bugis Sungai Kakap Kubu
Raya
Sama halnya dengan masyarakat Madura masyarakat
Melayu-Bugis yang berada di Desa Sungai Udang, Sungai Kakap Kubu Raya. Meryakan
Maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awal, namun yang berbeda adalah masyarakat
Melayu-Bugis Sungai Udang hanya merayakan Maulid Nabi hanya pada akhir bulan
saja.
Mereka akan memilih satu tempat baik itu di Masjid
ataupun di Pesantren-Pesantren sekitar, mereka akan menyiapkan makanan dan
buah-buahan dari rumah mereka masing-masing untuk dimakan Bersama-sama pada
akhir acara. Yang berbeda pula dalam perayaan Maulid Nabi Madura dan
Melayu-Bugis adalah ketika menikmati makanan nya. Masyarakat Melayu-Bugis akan
menyantap makanan tersebut secara saprahan dan beramai-ramai, berbeda denga
masyarakat Madura yang memang disediakan piring khusus untuk satu orang satu
piring untuk makan hidangan ang elah disediakan.
Namun sebelum menikmati hidangan masyarakat melayu
juga membaca shalawat berzanji dan mendengarkan ceramah terlebih dahulu. Baru
setelah selesai mendengarkan ceramah dan pembacaan shalawat berzanji maka
mereka akan Bersama-sama menyantap makanan yang telah disajikan. Kaum ibi-ibu
dan bapak-bapak akan membentuk barisannya masing-masing.
e.
Pandangan Syariat Akan Perayaan Maulid Nabi
Maulid dirayakan di banyak negara dengan penduduk
mayoritas Muslim di dunia, serta di negara-negara lain di mana masyarakat
Muslim banyak membentuk komunitas, contohnya antara lain di India, Britania
Raya, Rusia dan Kanada.
Arab Saudi dan Qatar adalah negara dengan penduduk
mayoritas Muslim yang tidak menjadikan Maulid sebagai hari libur resmi.
Partisipasi dalam ritual perayaan hari besar Islam ini umumnya dipandang
sebagai ekspresi dari rasa keimanan dan kebangkitan keberagamaan bagi para
penganutnya.
Lalu bagaimana agama menanggapi perayaan tersebut.
Allah SWT. berfirman:
“Sesungguhnya
Allah Azza wa Jalla dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk
Nabi k dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya” (al-Ahzâb [33] : 56)
Dari ayat diatas sudah jelas bahwa orang-orang yang
beriman dianjurkan untuk bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW. sebagaimana para
Malaikat bershalawat kepada beliau. Selama apa yang orang-orang muslim kerjakan
dalam menyerukan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. tidak menyimpang dari agama
maka pekerjaan tersebut boleh dilaksanakan.
Ada sebagian ulama yang mengatakan itu bid’ah, perlu
diketahui bid’ah itu ada dua. Ada bid’ah syaii’ah dan bid’ah dhalalah. Bid’ah
syaii’ah dadalah segala sesuatu yang tidak ada pada masa Rasululah namun tidak
bertentangan denga syariat islam. Sementara bid’ah dhalalah adalah segala
sesuatu yang tidak ada pada Rasulullah namun juga tidak sesuai dengan syariat
islam.
E.
KESIMPULAN
Indonesia adalah negara kepulaua yang terdiri dari
beraga macam suku dan budaya, serta dengan agama beragam pula. Suatu suku pasti
memiliki budayanya masing-masing, termasuk masyarakat Madura yang merupakan
masyarakat transmigrasi dari pulau Jawa, serta masyarakat Melayu yang merupakan
penduduk asli di Kalimantan Barat.
Selaku umat Bergama kita tentunya memiliki peraturan
masing-masing mengenai batas-batas mengenai budaya yang kita laksanakan.
Apalagi Agama Islam yang merupakan agama terbaik disisi Allah memiliki beberapa
pedoman bagi umatnya dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari, termasuk pedoman
dalam mengerjakan suatu budaya.
Al-Quran dan Sunnah merupakan pedoman utama umat
Islam dalam melaksanaka suatau ibadah tataupun aktivitas sehari-hari. Didalam
Al-Quran dipaparkan tentang beberapa cara kita melaksanakan ibadah, baik itu
ibadaj wajib sunnah serta melakukan interaksi antara umat beragama dan antar
tetangga.
F.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran Dan Terjemahannya. Terbitan Departemen Agama Republik Indonesia.
19978.
Harjani, Hefni. Dr. H. 2013. The Seven Islamic
Daily Habits: Hidup Islamai & Modern Berbasis Al-Fatihah. Jakarta:
Pustaka IKADI.
Jurnal. Tradisi Perekan Masyarakat Dabong. Didi
Darmadi
Jurnal Al-Manhaj. Pandangan Islam Mengenai Hari
Asyura. (27 Maret 2012).
Majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta.
Musnaad Al-Imam Ahmad ibn Hambal. (Beirut: Dar
al-Fikr, t.th.) Juz III hal. 12.
Rifa’I, Moh. Drs. H. 1987. Fiqih Islam Lengkap. Semarang:
PT. Karya Toha Putra.
Sayadi, Wajidi. 2014. Perspektif Hadis Tentang
Komunikasi Dakwah (Suatu Kajian Tematik). Pontianak. TOP Indonesia.
[1]
Drs. H. M. Rifa’i. Ilmu Fiqih Islam
Lengkap. (Semarang: PT. Karya Toha Putra. 1978.) hal. 346
[4]
Dr. H. Harjani Hefni, Lc. MA. The Seven Islamic Daily Habits; Hidup Islami
& Modern Berbasis Al-Fatihah. (Jakarta: Pustaka IKADI. 2013.) hal. 58.
[5] Syekh
Mu’inuddin. Al-Awrad Al-Khawarija. (Beirut: Dar al-Fikr. t.th.) hal.
[6] https://irfanyudhistira.wordpress.com/2012/06/01/shalat-lidafil-bala-tradisi-islam-di-bulan-safar-warisan-para-ahli-sufiyah/
diakses pada senin, 11/12/2017 pukul 20.35
0 komentar:
Posting Komentar